Sabtu ke Gereja

Sabtu ke Gereja

Sabtu, untuk kedua kalinya, aku pergi ke gereja Trinity Uniting Church di Dandenong. Pertama kali pergi ke sana, pertama kali pula aku kehujanan dan keanginan yang segitunya di sini, karena payungku sampai terpelanting kesana kemari hingga aku memutuskan untuk rela berbasah-basah. Yang kedua, aku sangat bersyukur karena minggu ini rasanya musim gugur rasa musim panas. Cuaca dingin dengan rata-rata 20 derajat celcius.

Ngapain aku gereja, anyway?

IMG_5134

Aku mendaftar sebagai relawan di program SAIL (Sudanese Australian Integrated Learning). Aku tahu program ini dari temanku yang sudah menjadi relawan di sana. Awalnya aku mendaftar program STEW (Students Teaching English to Our World). Namun, karena aku sudah mempunyai WWCC (Working With Children Check), temanku menyarankan mendaftar SAIL saja agar bisa langsung mengajar. Dia memang benar, program STEW ‘kurang jelas’. Aku sudah mendaftar sejak awal kuliah, tetapi hingga sekarang tidak ada kejelasan apa-apa.

Mengenai WWCC, di Australia jika ingin menjadi relawan atau bekerja dan itu berhubungan dengan anak-anak, maka harus mendaftar kartu ini. Biayanya gratis jika mendaftar sebagai relawan, sedangkan untuk bekerja, harus membayar sebesar 40$AUD. Jika kamu penasaran apa itu WWCC, kamu bisa mengunjungi alamat website ini. Simply, pemerintah Australia ingin memastikan anak-anak aman, jauh dari kekerasan fisik, orang pedofil, dan semacamnya itu. Jika kamu bekerja sebagai relawan tetapi tidak mendaftar WWCC, maka kamu akan kena denda sebesar 28.000$AUD, yang setara dengan Rp280.000.000,-.

Itu lah yang aku bikin takjub dengan negara ini. Mereka sangat melindungi anak-anak. Bahkan di hari pertama kami pelantikan volunteer di SAIL, mereka menjelaskan dengan detail bagaimana memperlakukan anak-anak. Kami tidak boleh memfoto di dalam ruangan, tidak boleh memfoto anak-anak, tidak boleh menggunakan ponsel ketika mengajar (tetapi aku lihat banyak pengajar dan murid-murid yang pakai), dan tidak boleh saling bertukar media sosial dengan murid. Mereka menjelaskan relawan tidak boleh saling follow dengan murid karena nanti akan canggung, sedangkan relawan tetap harus menjaga profesionalitas. Penjelasan mereka masuk akal, karena aku berteman dengan muridku yang SMP di Facebook dan Instagram. Setiap kali aku ingin mengunggah foto atau status yang ‘ga guru banget’ aku merasa gimana gitu. Bahkan kalau misal kami berkorespondensi melalu email dengan murid, email tersebut harus di cc ke email SAIL. Intinya, mereka sangat menjaga anak-anak, bahkan anak-anak imigran.

Aku jadi ingat ketika aku menjadi relawan Brawijaya Mengajar. Tidak perlu banyak peraturan. Mau bantu ya bantu aja. Mau foto ya foto aja terserah. Sedangkan di sini, setelah mempunyai WWCC, aku sangat hati-hati memfoto dan mengunggah foto. Aku tidak mau sembarangan foto anak orang, lalu diunggah. Sebenarnya peraturan ini make sense juga, karena misalnya, aku pun tidak suka kala ada orang sembarangan foto aku lalu foto tersebut diunggah. Ih.

 

IMG_5133
gereja, tampak dari pinggir jalan

 

Di hari pertama, selama sekitar 1 jam setengah kami diberi pengarahan, lalu malamnya kami diberi tahu siapa murid yang harus kami bimbing. Di program SAIL, sistemnya sangat fleksible. Kalau di Indonesia semacam les-les-an private. jadi, kami hanya diberi 1 orang murid, lalu terserah kami mau apa. Idealnya, si murid seharusnya membawa PR untuk dibahas bersama tutor, dan tutor juga harusnya menyiapkan materi kalau-kalau si murid tidak bawa PR. Di email tersebut, ternyata aku dipasangkan dengan murid laki-laki berumur 10 tahun, kelas 3 SD. Email itu juga yang berisi tentang segala macam informasi tentang South Sudan, kumpulan materi, dan kurikulum Victoria. Aku tidak paham sama sekali dengan kurikulum Victoria. Kurikulum Indonesia saja aku sudah malas (padahal aku dari jurusan pendidikan), apalagi ini Victoria. Kalau mau baca, bisa cek di sini.

Karena aku tidak familiar dengan kurikulum Victoria, aku mencetak beberapa lembar soal matematika dan bahasa untuk persiapan mengajar. Aku juga membaca buku mewarnaiku, spidol warna, dan kartu uno alih-alih si murid bosan. Dan jujur, aku gugup sekali. Aku khawatir, apakah si murid akan suka aku, apakah kami akan membentuk rapport dengan cepat, dan lain sebagainya. Apalagi, ini pertama kalinya aku mengajar anak kelas 3 SD, anak Sudan pula yang jelas otomatis punya budaya berbeda denganku. Dan pertanyaannya adalah, apakah dia akan murni mempraktekkan budaya Sudan, akulturasi budaya Sudan dan Australia, atau bahkan dia mempraktekkan budaya Australia. Selain itu, tentang bahasa, bisa jadi bahasa dia lebih bagus dari aku. In terms of speaking. Kemudian, aku baca di buku panduan dari SAIL bahwa mereka sensitif terhadap hal, misalnya ulang tahun. Kebanyakan dari mereka tidak tahu ulang tahun mereka kapan, karena tidak pernah resmi dicatat dan sepertinya orang tua mereka juga tidak memperhatikan hal tersebut. Jadi, umur mereka berapa adalah hasil kira-kira dan kebanyakan dari mereka ulang tahunnya sama, 1 Januari. If were that position, maybe I will chose a date that I like as my birthday, so I won’t have the same birthday people I know. 9 September, for instance, since I like number 9 so much.

Lalu, pada hari kedua, 60 menit sudah berlalu dan aku masih menunggu muridku yang belum nampak batang hidungnya. Hanya ada dua koordinator di ruangan tersebut, sedangkan ada puluhan murid, orang tua, dan relawan yang harus mereka urus. Mereka mondar-mandir sambil membaca secarik kertas yang berisi daftar nama relawan dan murid. Ruangan itu sendiri terpisah dari ruangan gereja. Aku pikir, itu seperti ruangan santai yang cukup luas. Ada lemari buku yang berisi buku-buku keagamaan dan buku-buku anak, lalu di depannya ada dapur, dan di sebelah kanannya ada hall, dimana ada kursi dan meja tempat anak-anak belajar. Ketika aku akan pamit pulang karena sudah menganggur selama satu jam, ternyata muridku sudahada di situ. Koordinatorku mempertemukan aku dengan ibu muridku. Dari raut wajahnya, menurutku ibunya tipe orang yang selalu khawatir, and maybe she have been through a lot of things since she looked sad. Dan dia sama sekali tidak senyum kepadaku, padahal aku sudah seramah mungkin.

Teryata, muridku sudah ada di hall dengan salah satu pengajar. Hari ini hari terakhirnya mengajar, oleh karena itu, mungkin itu kenapa SAIL mempasangkan aku dengan anak ini. Ketika aku datang, mereka sedang mengerjakan matematika. Lalu, si anak bosan dan soalnya dipinggirkan begitu saja. Si pengajar sudah menawarkan berbagai macam permainan pendidikan seperti scramble words, hangman, tetapi dia tetap tidak mau. Bahkan si anak tersebut, calon muridku, tidak mengatakan sepatah kata apapun.

Kalau aku amati, dan ini teoriku kenapa anak tersebut bertingkah seperti itu, pertama mungkin karena dia kekurangan kasih sayang dari bapak. Aku baca, ketika seorang anak mempunyai kesulitan berkomunikasi, karena dia jarang berkomunikasi dengan ayahnya. Ayahnya bisa jadi sibuk bekerja seharian, sedangkan ibunya bisa jadi sibuk mengurus rumah tangga dan tidak bisa fokus ke dia saja karena dia mempunyai saudara banyak. Kedua, dia tidak mau belajar dan hanya mau bermain dengan temannya, bisa jadi karena mungkin dia sudah lelah di rumah dan sekolah. Lalu di hari sabtu, adalah zona nyamannya untuk bertemu dengan teman-teman dan bisa bebas tanpa orang tua. Jadi, alih-alih belajar, dia hanya mau bermain. Bisa jadi juga, ini asumsiku membaca raut wajah si ibu, mungkin si ibu suka marah di rumah, jadi di hari sabtu, si anak hanya mau bermain.

Aku, sebagai pengajar, entah harus bagaimana menghadapi minggu ketiga. Yang jelas, aku harus menyiapkan banyak permainan, dan kalau bisa bukan permainan gadget. Koordinator sudah bilang bahwa program ini fleksibel, terserah pengajar mau bagaimana, dan tidak perlu terlalu ‘setres’ because it suppose to be fun. Namun aku merasa bahwa, aku adalah guru yang gagal kalau tidak bisa membangun rapport dengan dia.

 

IMG_5139
See you next week! *finger crossed

 

18 thoughts on “Sabtu ke Gereja

  1. Wah keren pengalamannya. Mengajar memang ‘susah’ ya Mbak. Harus ‘serba tahu’ dan peka, makanya saya suka sama guru dan selalu ingin punya guru supaya diberi kasih sayang da di-peka-i *lho 😨😂😂

    Sukses selalu Mbak 😄

    Like

    1. wahahahahahahahah wagelaseh. ngakak banget sama bagian ini: dan selalu ingin punya guru supaya diberi kasih sayang da di-peka-i

      aaamin. terimakasih 😀 kamu juga yak

      Like

      1. hihihi, iya.

        aku kurang suka mata kuliah pendidikan nun, yang membahas kurikulum, lesson plan, dll, sedangkan mata kuliah linguistik walau sulit, aku suka sekali 😀

        Like

Leave a comment