Culture Shock

Culture Shock

Hari ini pas satu minggu aku berada di Malang, Indonesia. Dalam satu minggu, aku sudah makan nasi padang, bakso, nasi goreng, sate ayam, ceker, dan, soto. Makanan-makanan yang aku idam-idamkan selama ini. Masih banyak lagi makanan yang ingin aku makan sebelum kembali studi ke Australia. Dalam satu minggu, jadual bertemu teman-teman lama, silaturahmi ke saudara, dan family time juga full. Satu minggu berlalu dengan sangat cepat, dan aku sukanya, aku jarang buka media sosial. Walaupun agak-agak bersalah karena aku punya tanggungjawab di organisasi.

Walaupun aku liburan semester kemarin juga kembali ke Indonesia, tetap saja aku mengalami culture shock. Culture shock adalah ketika kamu merasa tidak familiar dengan adat dan budaya tertentu. Yang aku alami, aku agak lupa bagaimana cara menyeberang di sini kalau tidak ada zebra cross dan tidak tempat penyeberangan, karena mobil dan sepeda tidak mau mengalah dengan pejalan kaki. Aku agak gimana gitu dengan kamar mandi umum yang tidak ada tisunya; pakai wc duduk, tapi ada cap sepatu atau sandal di dudukannya; dan berbayar. Aku agak gimana gitu dengan orang yang suka mengkomentari, “Gendutan ya” dan “Kok jalan?”, tiap kali kalau aku pulang jalan kaki instead of naik sepeda motor. Aku agak gimana gitu kalau lihat orang buang sampah sembarang, pemakain plastik yang berlebihan, macet di jalan, mall yang terlalu ramai karena aku tidak suka keramaian, dan lain-lainnya.

The culture shock is real. Dan ini yakin pasti dialami oleh orang yang tinggal di suatu tempat yang budayanya sangat berbeda juah dari domisili dia. Pasti mungkin kamu juga punya teman yang suka membanding-bandingkan Indonesia dengan negara yang pernah dia tinggali. Just give them some time, karena ini juga terjadi di aku. Tapi, kalau misalnya sudah lama di Indonesia dan dia masih suka membanding-bandingkan, berarti dia masih harus belajar tentang budaya dan komunikasi interbudaya (intercultural communication). Bahwa budaya tidak bisa disama-samakan. Sejarah negara juga beda-bedanya. Intinya sih, aku juga cuma perlu waktu.

Selain itu, aku juga semakin nggumun, karena di kotaku sekarang lebih banyak restaurant dan cafe yang makanan dan minumannya internasional. Kalau aku amati, orang-orang muda juga cenderung menghabiskam waktu dan makanan di tempat yang hits, daripada makanan lokal. Restauran-restauran bertitel Bahasa Inggris dengan menu-menu asing lebih ramai daripada warung-warung soto, rawon, dan lain-lainnya. Warung-warung biasanya yang langganan orang-orang tua. Aku khawatir kedepannya kotaku akan semakin kehilangan jati dirinya karena banyak meninggalkan budaya lokal. (Dari segi makanan ya, karena dalam paragraf ini aku bahasnya tentang makanan).

Lalu, tentang jati diri, aku adalah orang Jawa yang tidak bisa bahasa Jawa Krama. Jadi aku selalu pakai Bahasa Indonesia jika berbicara dengan orang yang lebih tua. Lucunya, kalau ada tamu dari desa yang rupanya bahasa keseharian mereka Bahasa Jawa, mereka kalau komunikasi dengan orang tuaku menggunakan Bahasa Jawa, mereka akan switch code menggunakan Bahasa Indonesia dengan aku, lalu switch code lagi kalau interlokutornya orang tuaku.

Bahkan aku merasa sepertinya Bahasa Inggrisku lebih bagus daripada Bahasa Jawa, kecuali dalam hal speaking. Speaking-ku tidak bisa native like ala-ala bule karena Bahasa Inggris hanya bahasa kedua yang dipelajari setelah masa critical period, sedangkan aku sangat fasih medhok jowo. Aku pernah mimpi dalam Bahasa Inggris, tapi sepertinya tidak dalam Bahasa Jawa. Ocehan-ocehan dalam kepalaku pun sering muncul langsung dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, tetapi tidak terlalu sering muncul dalam Bahasa Jawa.

Nah, karena otakku sering mikir dalam Bahasa Inggris, aku sering keceplosan pakai Bahasa Inggris. Padahal, di Australia setiap hari aku berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia karena housemate-ku dari Indonesia dan banyak teman dari Indonesia. Mungkin, karena konteksnya di Australia, aku sering mencampur Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, toh mereka juga pasti mengerti. Sedangkan, tidak di semua tempat kita bisa code mixing atau code switching a.k.a mecampur kedua bahasa tersebut. Kita juga harus lihat konteks dan dengan siapa kita berbicara. Ya kali belanja di pasar terus code mix Bahasa Inggris dan Indonesia, pasti dikira sombong. Aku pernah keceplosan ngomong, “Oh My God” ketika ngobrol dengan mamaku, dan beliau langsung marah besar. Padahal aku beneran keceplosan dan frasa itu hanya ungkapan terkejut, tapi beliau menganggap tidak sopan.

Sehingga dalam berkomunikasi, dalam seminggu ini, aku sangat-sangat mengkontrol kata-kataku. Kecuali, ketika aku bertemu dengan teman-teman yang sekarang juga sedang kuliah Bahasa Inggris atau dulu kami sama-sama ekskul Bahasa Inggris. Aku merasa nyaman dengan mereka karena aku tidak perlu berfikir keras atau mengontrol maksimal apa yang kata-kata yang keluar dari mulutku.

9 thoughts on “Culture Shock

  1. I feel you. 😁 nanti lama-lama terbiasa lagi jadi orang Indo. Budaya luar yg tertib trus tiba-tiba di kota kita ‘beda’, pasti terbawa suasana yg tertib itu. Menurutku nggak ada salahnya mengikuti hal yg baik misalnya jalan kaki dan menyeberang di zebra cross atau pas lampu hijau nyala. Agak susah memang ‘menyamakan’ kembali dgn budaya Indo kalau sudah lama tinggal di luar. Berasa aneh. Hehe.

    Liked by 1 person

Leave a comment